Pages - Menu

Selasa, 06 November 2012

Pangeran Raden Saleh: Seniman Lukis Portraitist



Pangeran Raden Saleh Syarif Bustaman lahir pada tahun 1811 dari keluarga Tumenggung Kyai Ngabehi Kertoboso Bustaman (1681-1759), keluarga Bupati dan Bangsawan terkenal di Indonesia pada jamannya dan bertalian darah langsung dengan Sultan dari Kerajaan Mataram. Seperti halnya dengan cicit keponakan Pangeran Raden Saleh,  Dr. George H. Hundeshagen (gelar Raden Adipati Ario), Pendiri dan Ketua Yayasan Pangeran Raden Saleh.

Keluarga Bustaman menguasai 20 kabupaten dan paling sedikit 7 keluarga Bupati diseluruh Indonesia, dan dikenang atas dukungan heroiknya bagi perjuangan kemerdekaan Pangeran Diponegoro. Keluarga kami sangat menderita atas dukungan kesetiaan kami bagi Pangeran Diponegoro. seperti halnya sepupu Raden Saleh yaitu Raden Sukur dan adiknya (juga bernama) Raden Saleh, anak dari Bupati Semarang yang terkenal dan sangat disayang oleh rakyat, Kyai Raden Adipati Suryamanggala yang juga berjuang bersama Pangeran Diponegoro. 


Dikarenakan olelh hal ini, Ayah Raden Sukur bersama adiknya ditahan oleh Belanda pada tahun 1825 dan dibuang/diusir keluar wilayah. (Untuk informasi tambahan, silahkan lihat halaman “Raden Saleh dan Diponegoro”).

Setelah pengkhianatan yang berakibat tertangkapnya Pangeran Diponegoro oleh Jenderal De Kock, Pangeran Raden Saleh pindah ke Eropa dimana dia belajar dibawah bimbingan Cornelius Kruseman dan Andreas Schelfhout.

Walalupun dia merupakan seniman lukis Indonesia pertama yang melukis dengan gaya barat, fakta bahwa dia mengekspresikan individualitas dan kreatifitas pada karya-karyanya (berlawanan dengan gaya tradisional yang menekankan pada reproduksi bentuk dan gaya yang sudah ada), telah membuka jalan bagi seniman-seniman Indonesia untuk mengekspresikan ide-ide secara lebih bebas.

Dari Kruseman-lah Pangeran Raden Saleh mempelajari ketrampilannya sebagai seniman lukis potret atau portraitist, dan oleh karenanyalah dia diterima diberbagai istana di Eropa untuk bertugas terutama untuk membuat lukisan potret. Dari tahun 1839, dia melewatkan 5 tahun di Istana Ernst I dan Grand Duke (Adipati) of Saxe-Coburg-Gotha yang belakangan menjadi pelindungnya. Dari Schelfhout-lah Pangeran Raden Saleh mempelajari ketrampilan menjadi seniman lukis lansekap. 

Pangeran Raden Saleh berkunjung kebanyak kota di Eropa sampai ke Aljazair. Ketika Hague (berkebangsaan Belanda), seorang penjinak singa mengijinkan beliau mempelajari singa-singanya. Lukisan tentang perilaku / tampilan binatang liarlah yang membawa Pangeran Raden Saleh mendapatkan ketenaran.
Selama tinggal di Eropa, Raden Saleh bertemu dengan banyak sekali pelukis-pelukis dan seniman-seniman seperti Eugene Delacroix.  

Pada tahun 1839, Raden Saleh melukis satu dari karya agungnya berjudul “Singa dan Ular”, yang merupakan simbolisasi peperangan abadi antara yang baik dan jahat, dan Delacroix melukis lukisan dengan tema yang sama berjudul “Macan dan Ular” pada tahun 1862, dua puluh tiga tahun setelah lukisan asli Raden Saleh. 

Pangeran Raden Saleh kembali ke Indonesia pada tahun 1851 setelah hidup di Eropa selama 20 tahun dan kemudian menikah dengan keluarga berpengaruh dari Kesultanan Yogyakarta. Dia meneruskan pekerjaannya melukis, memproduksi potret aristokrat Jawa, dan banyak lagi lukisan lansekap. Pangeran Raden Saleh meninggal pada tanggal 23 April 1880 setelah kembali dari perjalanan keduanya ke Eropa demi mengunjungi keluarganya di Eropa untuk yang terakhir kali.  

Sejak saat itu, Pangeran Raden Saleh menjadi Bintang Utama/Superstar seni Indonesia yang dicintai dan dihormati. Tiga tahun setelah hari meninggalnya, karya agungnya dipertunjukkan pada Eksibisi/Pameran Dunia di Amsterdam pada tahun 1883 disebuah paviliun spesial yang dinamakan Paviliun Raden Saleh.  

Salah satu kreasi Raden Saleh yang paling mengharukan adalah lukisan cat minyak “Penangkapan Pangeran Diponegoro” yang dikembalikan ke Indonesia oleh Istana Kerajaan Belanda pada tahun 1978. Saat ini lukisan tersebut dipajang di Museum Istana Jakarta. Dalam lukisan tersebut, Pangeran Raden Saleh sengaja melukis kepala dari pimpinan pasukan Belanda besar, sebagai simbol dari keangkuhan dan arogansi Belanda serta membuat sosok yang patut “ditertawakan” dibandingkan dengan sosok yang serasi dari rakyat Indonesia.  

Silahkan kunjungi link ini untuk mendapatkan interpretasi lengkap atas apa yang Pangeran Raden Saleh ekspresikan dan nyatakan sebenarnya pada lukisan ini. Anda akan melihat sisi unik lain dari pelukis besar Indonesia ini.

Dipercayai bahwa pria Jawa yang menutupi wajahnya, berdiri dibelakang Pangeran Diponegoro dan pria Jawa yang berdiri tertunduk ditengah kerumunan dibawah tangga adalah potret diri. Satu-satunya eksebisi yang komprehensif dari karya-karya lukis asli, cat warna dan gambar Pangeran Raden Saleh. Kami adalah rumah dari koleksi terbesar Pangeran Raden Saleh diseluruh dunia, dan pada saat yang bersamaan sumber yang paling komprehensif atas informasi, topik dan riset yang berhubungan dengan Pangeran Raden Saleh.   
  
Dr. George H. Hundeshagen, sebagai salah satu keturunan Kyai Ngabehi Kertoboso Bustaman (1681-1759) dan Kerajaan dan Kesultanan Mataram yang legendaris telah mengeluarkan seleksi karya agung Raden Saleh dalam interpretasi yang baru dan modern.

Sebagai penghormatan bagi paman cicitnya, Dr. Hundeshagen juga mengekspresikan kecintaan yang mendalam pada Indonesia, negara leluhurnya, dan sekali lagi memperlihatkan kejeniusan dan kecemerlangan Pangeran Raden Saleh. Dr. Dr. Hundeshagen telah mendapatkan pengakuan didunia seni Eropa dan Amerika, bukan hanya sebagai kurator dari karya seni dan ketenaran Pangeran Raden Saleh, namun juga atas adaptasi modern yang berani atas karya agung Pangeran Raden Saleh yang dipajang di Galeri Raden Saleh.   

Karya seni Dr. Hundeshagen – seperti halnya karya agung paman cicitnya - telah menjadi koleksi pribadi Ratu Elizabeth II dari Inggris, Ratu Beatrix dari Belanda dan juga pemerintah Republik Indonesia.

2 Comentários:

Chamerion mengatakan...

terimakasih informasinya..

Unknown mengatakan...

Terah pastikan kembali

Posting Komentar

Bego sih, Ini Lampung yai ©Template Blogger Green by Dwie Setia.

Mentariku